Suarahati.org, Sidoarjo – Seorang Khalifah Umar bin Khatab sedang bercengkerama dengan cucunya, ia bercanda dan menciumi cucunya yang masih kana-kanak itu. Pemandangan itu dilihat aneh oleh salah seorang yang sengaja diundang khalifah yang akan di intervew guna dinaikkan jabatannya. Namun, orang yang diundang itu merasa aneh dengan perilaku khalifah yang menciumi anak-anak, lantas bertanya, “Ya Amirul Mukminin, Engkau bercanda dengan anak-anak?”
“Ya betul, jawab Umar. “Engkau menciuminya ?”
“Ya betul”, jawab Umar. Pertanyaan ini dirasa tidak lazim bagi Umar, lantas Umar balik bertanya, “Engkau punya anak?” Bawahannya menyahut, “Punya, tapi saya tidak pernah bercanda dan menciuminya”. Dengan jawaban itu Umar bin Khatab langsung mengambil kesimpulan dan keputusan, “Aku tidak jadi mengangkatmu untuk naik jabatan, bagaimana kamu bisa menghargai bawahanmu kalau engkau tidak bisa menghargai keluargamu”. Begitulah keputusannya kepada bawahannya tersebut.
Cuplikan kisah di atas menggambarkan betapa ukuran seorang pemimpin ternyata dimulai dari bagaimana seseorang menyayangi keluarganya. Tampak sepele tapi penting untuk kelangsungan ke depan. Seorang Umar bin Khatab juga pernah mengeluarkan Keppres kalau sekarang, yakni “Memerintahkan kepada para suami untuk mengajarkan surat An Nur kepada istrinya”. Ini menjadi hal menarik jika kita mau ambil benang merahnya, dimana saat ini banyak membicarakan penghapusan Perda Syariah. Kepala daerah yang katanya otonomi justru tidak berdaya dengan keputusan yang lebih tinggi. Inilah secuil dilema seorang kepala daerah yang ingin mencoba mentegakkan adab dengan tangannya (kekuasaannya). Memang pertimbangan demi pertimbangan itu harus dipikirkan matang-matang, apalagi ketidakberdayaan kepala daerah untuk mengambil keputusan yang berdasaran Al Qur’an dan As Sunnah.
Jika dengan pendekatan tangan tidak bisa, maka dengan pendekatan lisan. Jika dengan lisan tidak bisa maka dengan pendekatan hati. Inilah kenapa Ummat Islam harus serius mencari pemimpin yang amanah, yang melandaskan keputusannya berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah karena pemimpin sangat mempengaruhi sistem yang diberlakukan. Dengan demikian, ayo Ummat Islam bahu- membahu dalam satu suara yang mendukung kemaslahatan berdasarkan way of life, yakni Al Qur’an dan As Sunnah. Bukan malah berpecah karena rebutan kue jabatan. Kemajemukan Bangsa Indonesia hanya bisa diatasi dengan petunjuk Tuhan, bukan dengan hawa nafsu, yang hari ini mengancam. Belum lagi idealisme atheis yang juga telah terdengar kembali gaungnya. Haruskah Ummat Islam masih bertikai dengan khilafiah, namun justru mereka jingkrak-jingkrak. Jika masih belum bisa menahan lisan, mudah mentakfirkan akan jadi bumerang bagi Ummat Islam sendiri.
Mari bahu- membahu tafaqqahu fiddin (memperdalam Ad Din) dan membangun kembali regenerasi yang sempat tidur pulas, dininakbobokkan oleh gadget. Pemahaman ummat yang sama akan hal kemajuan dan kebangkitan menjadikan kita bersatu. Dengan demikian ummat melek politik dan sanggup memilih pemimpin yang mau mendedikasikan jiwa raganya untuk bangsa ini berdasarkan ajaran Ilahi. Demi rahmatan lil alamin.
Suarahati.org