Suarahati.org, Sidoarjo – Warisan merupakan sesuatu yang berharga yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia, hingga banyak orang yang memperebutkannya, bahkan terkadang terjadi pertumpahan darah. Hal ini disebabkan oleh kurangnya ilmu dalam membagi warisan, karena orang tua tidak banyak yang mempelajarinya. Padahal Islam mengajarkan ilmu waris dengan detail dan gamblang. Dengan pembagian yang dirasa “kurang adil”, anak-anak yang mendapatkan warisan merasa tertekan, jika kedengkian itu dibiarkan terus menerus, maka akan berujung pada pertumpahan darah. Itulah pentingnya ilmu, yang notabene ilmu adalah warisan para nabi. Kenapa ilmu ?, karena dengan ilmu seseorang akan menemukan jalan kebenaran, jalan Tuhan, jika bersungguh-sungguh mencarinya, dan juga dengan ilmu manusia akan meraih kebahagiaan/kesuksesan hidup di dunia. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
ﺇﻥ ﺍﻟْﻌُﻠُﻤَﺎﺀُ ﻭَﺭَﺛَﺔُ ﺍْﻷَﻧْﺒِﻴَﺎﺀِ، ﺇِﻥَّ ﺍْﻷَﻧْﺒِﻴﺎَﺀَ ﻟَﻢْ ﻳُﻮَﺭِّﺛُﻮْﺍ ﺩِﻳْﻨﺎَﺭًﺍ ﻭَﻻَ ﺩِﺭْﻫَﻤﺎً ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻭَﺭَّﺛُﻮْﺍ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﻓَﻤَﻦْ ﺃَﺧَﺬَ ﺑِﻪِ ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﺧَﺬَ ﺑِﺤَﻆٍّ ﻭَﺍﻓِﺮٍ
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barang siapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (Hadits ini diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi di dalam Sunan beliau no. 2681, Ahmad di dalam Musnad-nya (5/169).
Dengan demikian, seseorang yang mau mengambil warisan berupa ilmu akan mendapatan manfaat yang banyak. Jika kita menela’ah hadits dan ayat di atas, jelas bahwa seorang yang berilmu adalah orang yang menjadi pewaris para nabi. Dalam pengertian yang sederhana pewaris para nabi adalah para alim ulama’, yang biasa identik dengan kedalaman ilmu agamanya saja. Dan jika kita tela’ah Rasulullah Muhammad adalah seorang pemuka agama, yang ahli dalam bidang agama (ritual-spiritual), namun tidak hanya itu, Rasulullah juga ahli dalam segala urusan, bahkan banyak sekali hadits-hadits beliau yang diketahui kenyataan ilmiahnya pada zaman modern ini, berarti Rasulullah Muhammad juga seorang ilmuwan. Lantas siapakah ulama’ yang dimaksudkan sebagai pewaris para nabi?
Siapa Saja Pewaris Para Nabi?
Jika kita benar-benar menela’ah Firman Allah dan Hadits Rasulullah tersebut di atas, dapat kita simpulkan bahwa pewaris para nabi adalah orang-orang yang membawa warisan nabi, yang kita sama-sama tahu bahwa warisan nabi adalah ilmu. Dengan demikian, bisakah seorang ilmuwan disebut pewaris para nabi?, bukankan banyak Ilmuwan Islam ternama, yang menggali dan menemukan keilmuan yang ilmiah di dalam Al Qur’an dan Hadits. Nah, jika kita kaji lebih dalam, seorang pewaris para nabi memiliki tanda-tanda berikut ini :
- Ahlul dzikir
Senantiasa mengingat Allah di saat lapang maupun sempit, dalam konteks ini seseorang lebih kepada ritual spiritual. Seseorang ini senantiasa mengaitkan kejadian dan peristiwa dengan Allah. Ia selalu menjabarkan, bahkan mengamalkan dzikir dalam makna kehidupan yang luas.
- Haus ilmu dan mengamalkannya serta men-tabligkannya
Seorang yang senantiasa haus ilmu dan pembelajar, karena pada hakekatnya seorang yang haus ilmu itu karena merasa kurang dan kurang atas keilmuan yang dimiliki, sehingga ia memiliki ilmu yang terus bertambah dan tentu ia tetap tawadu’, bagaikan padi yang semakin berisi semakin merunduk.
- Menjadi tempat bertanya dalam urusan dunia maupun akhirat
Karena kedalaman ilmunya, ia menjadi tempat ummat bertanya dalam berbagai masalah, baik masalah keagamaan, keluarga dan lain sebagainya, karena memang Islam mengatur berbagai masalah dalam kehidupan. Ia menguasainya karena ia haus ilmu.Dengan demikian, seorang yang disebut pewaris para nabi itu tidak hanya ulama’, namun seorang pendidik, seorang ilmuwan yang semuanya adalah ahli dzikir, karena kedalaman ilmunya ia menjadi semakin tawadhu’ kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Maka marilah kita muliakan, kita jaga dan kita bela orang-orang yang menjadi pewaris para nabi. Karena Rasulullah mengingatkan melalui sabdanya : Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673)
Seorang ulama’ akan menjadi ukuran dimana ilmu akan dicabut. Maka jika ada seorang ulama’ (dalam pengertian sederhana, pemuka agama/kyai dll), maupun ilmuwan muslim yang dekat dengan Allah telah meninggal dunia kita serasa kehilangan segudang ilmu. Untuk itu kita mesti memiliki generasi yang berilmu amaliah dan beramal ilmiah, untuk menggantikan para ulama’ yang telah tiada. Inilah salah satu upaya menjaga warisan Rasulullah SAW. Dengan mempersiapkan pendidikan yang bervisi ulama’ (dalam pengertian luas), akan memberikan harapan besar bagi Ummat Islam.
Dengan demikian generasi kita dapat memahami secara syamil mutakammil (pemahaman menyeluruh) tentang makna kesuksesan, mengingat banyak generasi yang terjebak ke dalam kata kesuksesan dalam makna duniawi saja, tanpa memperhatikan kesuksesan secara utuh. Jadi ulama’ yang digadang-gadang sebagai pewaris para nabi tidak saja terbebankan kepada para kyai saja oleh karena pemaknaan yang dangkal. Siapa saja yang mau menjaga warisan para nabi berupa ilmu, termasuk para pendidik, ilmuwan dan pembelajar adalah merupakan pewaris para nabi.
Oleh : Rofiq Abidin
Suarahati.org