Oleh : Etty Sunanti
(The Owner of ESP)

Mudah sekali bagi kita menghakimi seseorang. Tidaklah sulit untuk mengambil kesimpulan atas apa yang kita lihat pada diri orang lain. Bahkan tak jarang kita ini, justru menghakimi anak sendiri, dengan sudut pandang yang negatif dan buruk karena meremehkannya.

HIDUP ADALAH CERMIN
Tapi sadarkah kita bahwa cara kita menghakimi orang lain adalah cerminan diri kita sendiri. Saat kita menganggap orang lain lebih buruk, bisa jadi sebenarnya yang terjadi adalah kita sendiri yang lebih buruk darinya. Saat kita berusaha menjatuhkan orang lain, bisa jadi pada saat yang sama kita sebenarnya sedang menjatuhkan diri sendiri.

Ada banyak kasus persoalan anak-anak, tetapi orang tua tidak mau bermuhasabah diri. Bahwa penyebab dari musibah yang terjadi, adalah dari orang tua itu sendiri. Mereka selalu menyalahkan anak ketika si anak dalam persoalan besar. Orang tua mencari jalan keluar kesana kemari. Meminta terapi para terapist kesehatan dan psikologi, hingga meminta doa kiai, agar anaknya menjadi baik.

Contoh kasus, orang tua yang bersikap tidak adil, karena latar belakang psikologis mereka saat masih kecil. Kemudian dilimpahkan ke anak. Anak menjadi korban dari kondisi orang tua. Memukul anak, mengancam, menghukum, ketika diingatkan dia berkata, “Biarin, aku dulu juga diperlakukan begitu sama orang tuaku.”
Keadaan psikologis mereka seolah menjadi pembenaran kesalahan yang diperbuat. Atau sebaliknya.

MENDIDIK DAN MENGASUH
Bagaimana anak menjadi cerminan orang tua, kata kuncinya terletak pada pendidikan dan pengasuhan.
Bagaimana orang tua berperilaku, demikian pula anak meniru. Bila setiap hari mendapat caci-maki, maka si anak akan belajar serupa terhadap orang lain. Demikian pula sebaliknya.

Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian.
Pengasuhan berarti (cara, perbuatan, dan sebagainya) mengasuh. Dalam pengasuhan dapat diartikan sebagai menjaga, merawat, mendidik, membantu dan melatih.

Maka apa saja yang dilakukan orang tua terhadap anaknya, entah itu baik ataupun buruk, sejatinya adalah bentuk Pendidikan dan Pengasuhan.

TELADAN SANG KHALIFAH
Suatu hari, seseorang menghadap Khalifah Umar bin Khattab dengan membawa anak lelakinya. Ia mengadukan betapa durhaka dan kurang ajar anaknya. Khalifah mendengar dengan seksama pengaduan orang tua itu. Umar mengingatkan beberapa hak anak, seperti, memilihkan ibu si anak dari golongan baik-baik, memberi nama yang baik, memberi nafkah sepantasnya, mendidik dengan akhlak yang baik, dan mengajari ilmu untuk bekal hidupnya.

Seketika itu juga si anak menyahut penjelasan Khalifah Umar. ”Tak satu pun dari hak-hak itu yang diberikan untukku wahai Khalifah. Ibu saya itu tidak jelas asal-usulnya, dia juga berperangai sangat buruk. Dari kecil saya dipaksa mencari nafkah dengan menggembala ternak, dan setiap hari saya diberi contoh akhlaq yang buruk, dengan pertengkaran yang tiada henti, perkataan yang kotor, dan tindak kekerasan. Jangankan diajari ilmu, yang ada hanya amarah dan perlakuan kasar. Dalam hatiku hanya ada dendam dan menunggu saat bisa membalasnya.”

“Apa benar demikian?” Tanya Khalifah Umar dengan geram.
Sontak sang ayah anak lelaki itu menjadi tertunduk malu.
Kemudian Sayyidina Umar lanjut berkata, “Jika demikian, sungguh engkau telah merusak anakmu dengan tanganmu sendiri. Engkaulah yang pantas mendapat hukuman atas kesalahan ini.”

Sejarah mendidik anak akan berulang dan menurun kepada anak cucu. Jika sebelum-belumnya baik, maka Insya’ Allah anak turun akan baik.

TAUBAT ADALAH SOLUSI
Untuk memutus mata rantai kejahatan ini, wajib kita sebagai orang tua untuk bertaubat.
Setiap saya memberikan konseling kepada klien kasus kasus rumah tangga, khususnya persoalan anak mereka. Saya selalu membantu mengevaluasi bagaimana cara mendidik mereka. Jika memang ternyata terbukti ada banyak kesalahan orang tua. Maka solusi untuk menyelesaikan persoalan tersebut, wajib dengan bertaubat.
Karena Allah berfirman,

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan bertaubatlah kalian semua wahai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung.” (QS. An Nuur: 31)

Betapa orang yang bertaubat, dikatakan Allah supaya beruntung. Artinya segala kebaikan akan menghampirimu kita, tatkala mau bertaubat atas kesalahan dan dosa kita kepada anak kita.

Mempunyai anak saja sudah beruntung, apalagi memilih anak yang sholih-sholihah. Jangan pernah merasa benar dan baik sendiri. Bisa jadi anak-anak jauh lebih baik daripada orang tuanya.

Jika orang tua bisa menyadari kesalahannya, dan mau bertaubat. Insya’ Allah persoalan dengan sendirinya akan terselesaikan. Hati menjadi ringan, lega, Allah juga akan Memberikan Rahmat dan BerkahNya.

MEMINTA MAAF
Setelah bertaubat, maka wajib orang tua meminta maaf kepada putra-putrinya. Jangan merasa gengsi, atau khawatir jatuh martabat dengan meminta maaf. Justru pada saat orang tua mau meminta maaf kepada anaknya, di situlah jiwa anak akan merasakan keikhlasan dan keharuan.

Sekali lagi wahai ayah ibu, jangan pernah merasa gengsi untuk berbuat rendah hati kepada putra-putrinya.

Karena saya seringkali menemukan orang tua yang otoriter, dan senantiasa jaim. Kalau mengakui kesalahannya, takut mereka tidak berwibawa di hadapan anaknya. Mereka baru menyadari kesalahannya, ketika sudah mendapati musibah anak yang durhaka, banyak melakukan kemaksiatan dan dosa.

Wahai para orang tua, lembutkan hati, tegaslah dalam ketaqwaan, berbuat baiklah kepada putra-putri kita, semata mata karena dan untuk Allah. Sesungguhnya Allah Maha melihat apa yang kita lakukan.

Sungguh kampung halaman kota adalah akhirat. Jangan sampai kita pulang ke kampung neraka, tetapi kita akan dipulangkan Allah di JannahNya. Aamiin Yaa Robb ‘Alamiin..

 

Apa saja yang dilakukan orang tua terhadap anaknya, entah itu baik ataupun buruk, sejatinya adalah bentuk PENDIDIKAN dan PENGASUHAN