Oleh : Etty Sunanti, S,Th.I, M.Psi.

 

Kondisi akhir zaman, banyaknya penyimpangan perilaku pada generasi kita, dikarenakan hilangnya sosok ayah pada keluarga.

Ayah adalah seorang pemimpin, yang memiliki kemampuan membuat keputusan, mendidik, mengarahkan, mengatur, jika ini ditiadakan, maka apalah jadinya seorang anak manusia.

Peran ayah, tidak bisa digantikan oleh seorang ibu. Karena fitrah seorang ibu, memang sebatas memberikan kebutuhan cinta kasih dan segenap masalah psikis semata.

Mari kita melihat sejarah para Nabi Allah di sepanjang kehidupan. Mereka adalah para ayah, yang memberikan pendidikan dan pengarahan perihal apapun kepada anak-anak nya. Wabil khusus menegakkan masalah prinsip berkehidupan, yaitu menegakkan TAUHID kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di samping itu tugas ayah adalah memberi bekal masalah kemampuan analisa logis, life skill, dan hal hal yang bersifat strategis.

TAUHID adalah puncak keyakinan seorang anak manusia, kepada Tuhannya, dengan keteguhan hati, ikhlash, tanpa ada penolakan dan kebingungan. Meskipun di awal ada keraguan, kebingungan, tetapi seorang ayah tetap mendampingi anaknya dalam kondisi ketaatan, bukan kondisi kesesatan dan nafsu syaitan. Kekuatan tauhid ini, akan membuat anak manusia menjadi kuat prinsip, tidak mudah terombang ambing.

Ada kisah menarik dari Nabi Ibrahim dan putranya. Setelah mendapati mimpi petunjuk dari Allah, yang tidak masuk akal. Sangat bingung menyikapi mimpinya. Ia tidak lantas membenarkan, namun tidak pula mengingkari. Nabi Ibrahim merenunginya beberapa kali dan memohon kepada Allah  untuk memberi petunjuk yang benar kepadanya. Setelah malam yang sangat membingungkan itu selesai, ternyata malam kedua juga datang mimpi yang sama, begitupun dengan malam ketiga. Setelah mimpi yang ketiga, barulah Nabi Ibrahim meyakini dan membenarkan, bahwa mimpi itu benar-benar nyata dan harus dilaksanakan.

Setelah itu, Nabi Ibrahim menyampaikan mimpinya pada anak semata wayangnya. Dalam Al-Qur’an Allah  mengisahkan cerita itu, yaitu:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰى
Artinya, “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku! Sungguh aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’” (Surat As-Saffat ayat 102).

Mendengar pernyataan dan pertanyaan ayahnya, dengan tegas dan tenang Nabi Ismail menjawab :

قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
Artinya, “Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu;
insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.’” (Surat As-Saffat ayat 102).

Sebagai sosok yang sangat taat pada perintah Allah, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘alaihissalam melakukan apa yang telah menjadi ketetapan bagi keduanya. Dengan hati yang sedih dan raut wajah yang dipenuhi linangan air mata, semuanya harus mereka ikhlaskan demi memenuhi perintah-Nya, bahkan Nabi Ibrahim harus mengorbankan anaknya sendiri, disembelih di hadapannya dan dilakukan dirinya sendiri. Namun, semua itu mereka lakukan sebagai manifestasi bahwa seorang hamba haruslah mengikuti semua perintah Tuhan-Nya.

Kejadian itu juga merupakan contoh keteladanan luar biasa yang harus dilakukan oleh umat Islam setelahnya, bahwa tidak ada yang lebih mulia selain mengikuti perintah-Nya, dan tidak ada kenikmatan yang lebih sempurna selain menjalankan semua kewajiban-Nya.

Setelah keduanya sepakat untuk melakukan penyembelihan itu, Nabi Ibrahim membawa putranya, Nabi Ismail ke Mina dan membaringkannya di atas pelipisnya. Saat-saat penuh kesedihan itu, Nabi Ismail lantas mengatakan pada ayahnya dengan penuh keikhlasan, yaitu:

يا أبت اشدد رباطى حتى لا اضطرب، واكفف عنى ثيابك حتى لا يتناثر عليها شئ من دمى فتراه أمى فتحزن، وأسرع مرّ السكين على حلقى ليكون أهون للموت على، فإذا أتيت أمى فاقرأ عليها السلام منى
Artinya, “Wahai ayahku! Kencangkanlah ikatanku agar aku tidak lagi bergerak, singsingkanlah bajumu agar darahku tidak mengotori, dan (jika nanti) ibu melihat bercak darah itu niscaya ia akan bersedih, percepatlah gerakan pisau itu dari leherku, agar terasa lebih ringan bagiku karena sungguh kematian itu sangat dahsyat. Apabila engkau telah kembali maka sampaikanlah salam (kasih)ku kepadanya.” (Syekh Muhammad Sayyid Ath-Thanthawi, Tafsir Al-Wasith, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M], halaman 3582).

Setelah mendengar ucapan anaknya yang sangat baik dan taat, dengan dipenuhi perasaan sedih dan linangan air mata, Nabi Ibrahim sebagai ayah darinya menjawab:

  نعم العون أنت يا بُني على أمر الله
Artinya, “Sungguh, sebaik-baiknya pertolongan adalah engkau wahai anakku dalam menjalankan perintah Allah,” (Imam Fakhruddin Ar-Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Kutub: 2000 M], juz XXVI, halaman 138).

Setelah perbincangan antara keduanya sudah selesai, meledaklah tangisan mereka. Nabi Ibrahim tidak bisa menahan air matanya untuk tidak mengalir. Di satu sisi, ia harus melaksanakan perintah-Nya. Di sisi yang lain, ia sangat sayang pada anaknya. Namun, sebagai seorang yang taat akan perintah-Nya, Nabi Ibrahim harus merelakan anaknya untuk dijadikan kurban saat itu. Begitupun dengan Nabi Ismail, ia masih tidak ingin berpisah dengan ayah dan ibunya. Namun adanya perintah Allah harus lebih ia kedepankan dari yang lainnya.

Nabi Ibrahim melakukan apa yang telah disampaikan putranya. Kemudian Nabi Ibrahim menciumnya dengan penuh kasih sayang dan linangan air mata, dan akhirnya mengambil pisau untuk menyembelihnya. Setelah pisau sudah ada di tangannya, ia meletakkan pisau tajam itu ke leher Nabi Ismail, namun keajaiban datang dari Allah. Pisau itu ternyata sama sekali tidak melukai Nabi Ismail. Beberapa kali Nabi Ibrahim mengulanginya, namun tetap sebagaimana semula. Jangankan melukai, bahkan pisau itu tidak memberi bekas apa pun pada anak semata wayangnya itu. Nabi Ismail mengatakan pada ayahnya:

يا أبتِ كبّني لوجهي على جبيني، فإنّك إذا نظرت في وجهي رحمتني، وأدركتك رقّة تحول بينك وبين أمر الله وأنا لا أنظر إلى الشفرة فأجزع
Artinya, “Wahai ayahku! Palingkanlah wajahku hingga tak terlihat olehmu! Karena sungguh, jika melihat wajahku, engkau akan selalu merasa iba. Perasaan iba itu dapat menghalangi kita untuk melaksanakan perintah Allah. Apalagi di depan mataku terlihat kilatan pisau yang sangat tajam, tentu membuatku ketakutan.” (Syekh Abu Ishaq bin Ibrahim Ats-Tsa’labi, Tafsir Ats-Tsa’labi, [Beirut, Darul Ihya’: 2002 M], halaman 1901).

Lagi-lagi sosok Nabi Ismail sangat berperan dalam menjalankan perintah Allah ketika perintah yang harus dilakukannya merupakan perintah tidak bisa diterima oleh akal. Kemudian, Nabi Ibrahim kembali menuruti permintaan anaknya. Namun, yang terjadi masih saja seperti semula, pisaunya yang sangat tajam tetap tidak bisa melukai Nabi Ismail. Berbagai pertanyaan muncul saat itu, di mana pisau yang sangat tajam, bahkan bisa membelah batu yang begitu keras tidak bisa melukai leher Nabi Ismail yang begitu halus dan lembut. Saat itulah Allah menurunkan firman-Nya, sekaligus menjawab berbagai pertanyaan itu. Dalam Al-Qur’an disebutkan,

وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاءُ الْمُبِينُ وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ.
Artinya, “Lalu Kami panggil dia, ‘Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.’ Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian,” (Surat As-Saffat ayat 104-108).

Seperti itulah kisah heroik, histeris, dan sangat dramatis yang terjadi pada Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail ‘alaihimas salam. Ketika keimanan dan keyakinan sudah melekat dalam jiwa, ia mampu mengalahkan segala kemauan yang bersifat rasionalitas. Meski rasio tidak menerima akan tindakan seorang ayah untuk menyembelih anaknya, namun keimanan lebih ia kedepankan dari semuanya.

Setelah semua skenario itu selesai, sangat tampak kesabaran dan ketaatan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Oleh karenanya Allah  tidak menghendaki penyembelihan itu terjadi, bahkan melarangnya dan mengganti kurbannya dengan seekor kambing.

Sementara itu, saya memiliki kisah memprihatinkan, seorang ayah yang hilang, di saat harus menguatkan anaknya di jalan Allah.

Saya memiliki pengalaman yang mengecewakan, tentang seorang ayah. Dua tahun lalu saya memasukkan 2 anak laki-laki, usia 9 tahun (anak pertama), dan 6 tahun (anak kedua) ke Panti Asuhan Muhammadiyah di Surabaya. Pasalnya dua anak ini, tidak mendapatkan fasilitas pendidikan, karena ayah ibunya kabur entah kemana. Sementara 3 adik-adiknya yang masih balita, dirawat nenek dan kakeknya yang renta dan sudah tak berdaya. Bayangkan lima anak kecil kecil, diserahkan begitu saja kepada neneknya, dan orang tua 5 anak itu kabur entah kemana.

Anak yang usia 9 tahun, saya masukkan di Panti Asuhan Muhammadiyah Kecamatan Pabean Cantikan Surabaya. Adiknya, anak yang usia 6 tahun, saya masukkan di Panti Asuhan Muhammadiyah Kecamatan Semampir Surabaya. Alhamdulillah, mereka berdua sudah bisa sekolah, setelah masing masing Panti Asuhan tersebut berjibaku memperjuangkan segenap ke-administrasi-an agar kedua anak itu bisa sekolah. Karena anak anak itu benar-benar, buta huruf, tidak terdidik, dan tidak memiliki akses agar bisa sekolah.

Setelah bisa sekolah, setahun tinggal di Panti Asuhan, full terawat sandang, papan dan pangan. Pendidikan terfasilitasi dengan baik. Sekolah lancar, les privat di berikan, ekstrakurikuler diajarkan intensif. Bahkan di Panti, diterapkan sistem pondok pesantren. Sholat berjamaah fardhu, sholat tahajud, menghafal Al-Quran, dan banyak kegiatan manfaat di lakukan. Masya’Allah, anak-anak itu berubah menjadi luar biasa hebat dan keren.

Fisiknya yang dulu kusut, suram, tak terawat. Sekarang wajahnya nampak bersih, sehat, rapi dan bahagia. Dulu yang buta huruf, sekarang sudah bisa membaca dengan lancar dan bagus. Alhamdulillah MasyaAllah..

Tetapi sayangnya musibah terjadi, saat liburan Idul Fitri 1445 kemarin. Saat setiap Idul Fitri anak-anak Panti dipulangkan agar bertemu keluarganya. Anak ini justru musibah, saat bertemu ayahnya.
Ayahnya sudah lama menghilang, tiba-tiba muncul saat Lebaran kemarin. Dia berjanji akan mengantar kedua anaknya kembali ke Panti Asuhan. Tetapi saat waktu yang dia janjikan, ternyata ayahnya tidak kunjung pulang, sampai hari ini, di bulan Dzulqaidah ini saya menulis, tidak kunjung pulang.

Drama banyak terjadi, manakala si anak mendengar kabar, ayahnya berpisah dengan ibunya. Karena ibunya kabur dengan lelaki lain, hilang entah kemana. Si ayah yang menjadi labil dan emosional kehilangan istrinya, tidak mampu memberikan penguatan anaknya. Justru, membuat lemah. Ayahnya, membawa uang angpao anak anaknya hasil *unjung-unjung* keliling saat Lebaran. Juga, tidak menepati janji, untuk mengantar anaknya kembali ke Panti.

Manusia mana yang tidak galau, kehilangan seorang ayah atau anggota keluarga yang semestinya dekat.
Coba kita bayangkan, saya atau anda, mempunyai keluarga tercinta, terlambat pulang sekian jam saja, sudah kepikiran dan panik. Apalah anak sekecil itu, sudah kehilangan ibunya, ditambah kehilangan ayahnya. Si anak itu menjadi *oleng*, gangguan kejiwaan, tidak konsentrasi kembali ke Panti Asuhan. Bahkan berani nekat kabur pulang ke rumahnya, padahal jaraknya jauh. Dan itu sudah dilakukan beberapa kali. Agar mau kembali ke Panti Asuhan, dan mau sekolah. Tetapi lagi-lagi kabur, bahkan pernah kabur dari sekolah. Saat diajak berbicara, dulu berbinar-binar, sekarang nampak kesedihan, stress, dan seperti depresi. Bahkan saking jengkelnya keluarga si anak itu  agar mau kembali, sampai dihajar, dipukul, ditonton orang sekampung. Masih tetap bersisi kukuh agar tidak mau kembali ke Panti. Kemudian sampai saya redakan, agar jangan ada kekerasan, dan saya treatment thibunnabawi, sudah mau kembali, saya senang, ternyata juga kabur lagi. Kata kuncinya, di ayahnya. Dia ingin bertemu ayahnya, tapi ayahnya menghilang. Saya sampai menyuruh orang agar bisa menemukan ayahnya, tapi belum kunjung bertemu. Sampai akhirnya anak itu, dibawa ke Panti Khalifah di Pacet di tengah alam hutan, jauh dari penduduk. Agar ditenangkan dan dijaga di sana. Biasanya anak-anak yang lebih besar dari dia, lebih nakal, kasusnya lebih berat, begitu signifikan ada perubahan. Tetapi anak ini, benar-benar luar biasa, sudah kelas berat gangguan kejiwaan nya, dia berani kabur dari Pondok Khalifah Pacet, sampai akhirnya berurusan dengan Kapolsek Setempat. Akhirnya, Panti asuhan melepaskan dia, agar kembali kepada keluarganya, dan tidak mau mengurusinya lagi.

Sungguh amat disayangkan, kesempatan emas dia hilangkan.

Yang membuat saya kecewa dan prihatin, justru kepada ayahnya si anak ini. Betapa rapuhnya dia, tidak mau memberi penguatan kepada anaknya. Malah pergi entah kemana. Andaikan dia ada, hadir, dia bisa menguatkan anaknya agar mau melanjutkan pendidikan yang optimal. Kalaupun ayah tidak sanggup, ada lembaga yang menolongnya, mengapa disia-siakan.

Saya masih ingat betul, bagaimana bapak saya, memberikan ketegasan dalam hal-hal yang prinsip kepada anak-anak nya. Bahkan ketegasan dan masalah kekuatan Aqidah, saya peroleh memang dari bapak. Karena seorang ibu, sangat jauh berbeda, dalam menguatkan kata-kata. Seorang ibu, masih bisa dinegosiasi. Masih bisa dimanipulasi anak-anaknya. Tetapi sang ayah tidak akan pernah bisa dimanipulasi.

Semoga para ayah, setelah membaca rubrik At tarbiyah ini, menjadi seorang laki laki yang tangguh dan sabar membersamai istri dan anak-anaknya. Aamiin Yaa Robbal ‘Alamiin..

 

#attarbiyah
#parenting
#ayah
#pantiasuhansuarahati
#pantiasuhansidoarjo
#yayasansuarahati