Oleh : Rofiq Abidin (Ketua Yayasan Suara Hati)

 

Kebaikan akan tetap jadi kebaikan, meskipun terkadang ternilai keburukan karena cara yang terasa kurang tepat dan ketidaknyambungan maqosidnya. Ketidaknyambungan maksud dikarenakan 2 faktor, pertama ialah hasad, kedua ketidaktahuan. Maka biarlah kebaikan itu terus tertanam, meski terkadang tereduksi dengan hasad dan ketidaktahuan.

Namun, akan lebih bijak jika nilai baik bersanding dengan nilai benar. Karena yang baik jika disampaikan dengan tidak benar, maka persepsinya jadi sedikit tereduksi. Demikian juga kebenaran jika disampaikan kurang baik, akan terasa kurang bisa diterima nilainya. Tapi, tetaplah kebaikan dan keburukan itu tidak sama, maka nilai itu butuh ikhtiar akal untuk memaknai dengan bijaksana. Berhati-hatilah dengan yang buruk yang menarik dan bijaklah menyikapi yang baik.

قُلْ لَا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Katakanlah, “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu. Maka bertakwalah kepada Allah, hai orang-orang berakal, agar kalian mendapat keberuntungan” (QS. Al Maidah : 100).

Menyikapi nilai baik dan buruk ada 3 tahap yakni Tawakal, Berakal dan Beruntung

Semua kebaikan yang kita tanam, tawakkalkan kepada Alloh agar tidak salah niat, kemudian ilmui kebaikan agar berdasar (fundamental) dan selanjutnya dampaknya ialah manfaat kesuksesan / membahagiakan sesuai tujuan kebaikan itu sendiri.

Pun menyikapi keburukan yang terjadi, tawakkallah agar tidak terus berlanjut keburukan. Ilmui dengan akal agar berdasar kuat untuk meninggalkan keburukan dan selamat dari dampak buruk, meski terkadang berupa warning Alloh. Terimalah dan mintalah agar selamat dan terampuni.

Keburukan tetaplah keburukan meskipun tampak menarik. Bungkus-bungkus keburukan itu berasal tidak jauh dari duniawi, baik itu jabatan, pujian hingga materi. So, bijaklah dalam kebajikan dan bajiklah dalam bijak.