Oleh
: Rofiq Abidin
قُلْ
يَا قَوْمِ اعْمَلُوا عَلَى مَكَانَتِكُمْ إِنِّي عَامِلٌ فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu,
sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui, (QS. Az
Zumar : 39).
Pelayanan
yang prima, kemudahan dan kenyamanan serta bersikap sesuai standarisasi yang
disepakati, senyatanya menjadi tolok ukur sebuah nilai profesional. Pembagian
tugas dalam sebuah institusi perusahaan memudahkan untuk melakukan pekerjaan
yang besar menjadi ringan, karena dipikul bersama.
Manajemen
dalam islam sangat dianjurkan, demi sebuah suksesnya amanah. Pekerjaan dalam
islam bukan hanya berorientasi materi semata, namun lebih dari itu. Karena jika
pekerjaan hanya diukur dari materi, maka hanya akan bersifat sesaat. Dalam
islam, pekerjaan merupakan amanah yang di dalamnya ada sebuah nilai yang
ditegakan dan dipertaggung jawabkan, ada sebuah cara yang dibenarkan oleh
syariat. Dengan demikian bekerja profesional adalah identitas muslim yang harus
dibudayakan, selama tidak melanggar syariat. Jika melanggar syariat, maka
seorang muslim tentu tahu bagaimana harus bersikap, misalnya muslimah tidak
boleh berhijab, itu melanggar syariat. Maka wajib bagi muslimah untuk menolak
nilai profesional itu. Karena dalam islam nilai profesional tidak boleh
berbenturan dengan ajaran Ilahi.
Nilai Profesionalisme Ilahiyah
Tujuan dari profesionalisme adalah
mengatur beragam pekerjaan untuk memperlancar dan mempermudah pembagian tugas
dan pelaksanaan operasional sesuai kesepakatan bersama. Adapun nilai profesionalisme
dasar yang terkandung dalam ajaran islam adalah sebagai berikut :
- Cara yang dihalalkan
syariat
Seorang
mukmin sudah mengerti bahwa apapun pekerjaannya adalah tidak boleh keluar dari
nilai “Halalan Toyyibah”. Mengingat perihal itu adalah standart wajib bagi
segenap muslim yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah. Maka cara-cara
halal yang dibenarkan syari’at tidak boleh mengandung beberapa hal berikut :
- Riba
- Gharar
- Maisyir
Jika
mengandung 3 hal di atas, sebagai seorang muslim seharusnya sudah berani tegas untuk
menolaknya. Bila perlu ilmui lagi, karena belajar halal dan haram itu hukumnya
wajib. Mengingat hal itu akan memberi efek kepada keberlanjutan kehidupan kita.
- Etika kerja yang Qurani
Peraturan
yang telah disepakati seharusnya tidak keluar dari etika islami, mengingat
etika islami itu relevan sepanjang zaman. Etika kerja yang Qurani mensarikan
isi aturan dari pedoman Al Quran. Ada beberapa budaya kerja yang sering diterpakan
dalam sebuah institusi, misalnya :
- Menyapa
- Salam
- Senyum
- Melayani
- Produktif
Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, (Q.S Al Insyiroh : 7).
Tidak
boleh seorang muslim itu leha-leha dalam bekerja. Jika sudah selesai satu
urusan, maka segera dengan kesungguhan mengerjakan urusan yang lainnya.
Begitupun berhubungan dengan lisan
justru seorang muslim yang utama adalah yang aman dari ganguan lidah dan
tangan. Muslim profesional yang memegang etika adalah muslim yang tidak
sembarangan berbuat dan tidak sembarangan berkata. Karena Al Quran melarang
untuk berkata selain berkata baik. Jadi, etika kerja yang banyak menjadi tolok
ukur dalam dunia profesional, telahpun menjadi pelajaran sehari-hari bagi muslim.
Barang siapa yang berbuat
sesuai dengan petunjuk, maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk
(keselamatan) dirinya sendiri; dan barang siapa yang sesat maka
sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang
berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab
sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS. Al Isra’ : 15).
Petunjuk
teknis atau yang kita singkat dengan juknis bagi muslim jangan keluar dari
koridor petunjuk hidup kita yakni, Al Quran. Karena telah jelas bahwa Al Quran
memberikan pandangan etika yang bisa diterapkan dalam dunia profesionalisme
kini dan mendatang. Dalam ayat di atas jelas dikatakan, seseorang yang telah
berbuat sebagaimana petunjuk akan berdampak pada dirinya sendiri, walau efeknya
dalam sosial akan berdampak bersama. Sedangkan nilai diri seseorang akan secara
otomatis dengan sendirinya jika seseorang menjaga dirinya berbuat sebagaimana
petunjuk teknis yang telah disepakati.
- Spirit Kerja “Lillah”
Dalam
dunia profesional islam melayani bukan karena siapa sang tamu, tapi karena
perintah Allah menghormati dan memuliakan tamu. Spiritnya bukan materi, tapi
iman. Maka perbedaan institusi yang menerapkan nilai islam dan bukan, terletak
pada spiritnya. Karena sebenarnya institusi yang tidak islami, justru
menerapkan konsep profesionalisme yang kuat dan nyaman. Namun, bedanya seorang
muslim melayani tamu/pelanggan karena iman, sedang non muslim melayani tamu
karena tamu. Jadi ajaran islam sangat identik dengan dunia profesionalisme.
Maka muslim yang sejati haruslah profesional.
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan (Ikhlas) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan
lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus. (QS Al Bayinah : 5)
Sebagai muslim seharusnya menegakkan
nilai-nilai profesionalisme, tunjukkan bahwa pribadi muslim itu menjunjung
tinggi nilai profesinalisme yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai
syariatnya, yakni Al Quran dan As Sunnah. Giatlah dalam bekerja, karena
petunjuknya mengajarkan jika satu urusan telah selesai, bersegeralah dengan
urusan yang lain. Ramahlah dalam bersikap dengan siapapun, baik dengan
tamu/pelangan, atasan, bawahan dan tetangga kantor, karena itu juga diajarkan
dalam islam, namun spiritnya itu adalah “Lillah”, bukan materi dan bukan
pujian.