وَٱتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ٱبْنَىْ آدَمَ بِٱلْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَاناً فَتُقُبِّلَ مِن أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ ٱلآخَرِ قَالَ لَـلأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلْمُتَّقِينَ

Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban,  maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!.” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (qurban) dari orang-orang yang bertakwa.”  (Al Amaidah : 27)

 

Suarahati.org, Sidoarjo – Kata perjuangan sering gandeng dengan pengorbanan. Namun tahukah kita apa yang mendasari sikap berkorban besar-besaran terhadap apa yang dituju ? yang melandasinya adalah “cinta”. Ya, perasaan cinta ini yang bisa membuat orang melakukan apa saja antuk meraih tujuan yang diinginkan. Sehingga ada persepsi cinta itu buta, lebih tepatnya membutakan, jika diimplementasikan kepada selain Allah dan jihad dijalanNya. Dan kita tahu banyak anak muda yang mabuk kepayang, tak bisa makan dan tidur jika perasaan ini sedang tidak sesuai keinginannya.

 

Sebuah Pembuktian Cinta

Saat Nabiyullah Ibrahim alaihi salam mendapat perintah Allah menyembelih Ismail, inilah sebuah pembuktian cinta, apakah perasaan cintanya kepada anaknya melebihi cinta kepada Allah! Maka Nabi Ibrahim membuktikan cintanya kepada Allah dengan mengorbankan Ismail. Sebuah perintah yang secara nalar tidak masuk akal, “menyembelih anak kandungnya sendiri”. Sebenarnya perintah Allah ini adalah menagih janji Ibrahim, saat mampu berqurban 1.000 ekor domba, 300 ekor sapi, dan 100 ekor unta. Banyak orang mengaguminya, bahkan para malaikat pun terkagum-kagum atas qurbannya. Menurut satu riwayat, bahwa Ismail diganti dengan seekor domba kibas yang dulu pernah dikurbankan oleh Habil dan selama itu domba itu hidup di surga. Malaikat Jibril datang membawa domba kibas itu dan ia masih sempat melihat Nabi Ibrahim AS menggoreskan pedangnya ke leher putranya. Dan pada saat itu juga semesta alam beserta seluruh isinya ber-takbir (Allâhu Akbar) mengagungkan kebesaran Allah SWT atas kesabaran kedua umat-Nya dalam menjalankan perintahnya. Melihat itu, malaikai Jibril terkagum-kagum lantas mengagungkan asma Allah, “Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar”. Nabi Ibrahim AS menyahut, “Lâ Ilâha Illallâhu wallâhu Akbar”. Ismail mengikutinya, “Allâhu Akbar wa lillâhil hamd”. Kemudian bacaan-bacaan tersebut dibaca pada setiap hari raya qurban (Idul Adha).

Habilpun membuktikan cintanya kepada Allah dengan memberikan qurban terbaiknya, karena ketaqwaannya. Inilah bukti cinta kepada Tuhannya. Oleh karena itu, jika seseorang merasa mencintai, ia akan mengorbankan apapun, tindakan apapun, pengorbanan itulah ukurannya besarnya cintanya. Ukuran besarnya cinta, bukan diukur dari seberapa besar atau banyak secara lahiriah saja, namun justru ketaqwaannyalah yang menjadi tolak ukurnya. Seseorang dengan gaji pas- pasan tidak mungkin bisa berqurban sebanyak orang kaya dengan ratusan hewan qurban. Namun, jika seseorang yang dengan sederhana mampu berqurban yang terbaik, maka itulah ukuran ketaqwaannya. Itulah besar cintanya kepada Tuhannya. Justru, jika orang yang mampu berqurban banyak, namun nilainya sama dengan orang yang hidupnya pas-pasan, justru itu tidak lebih baik dari orang yang hidupnya pas-pasan yang memberikan qurban yang terbaik.

 

Qurban Pembuktian Syukur Kepada Allah

Kita tak akan mampu menghitung nikmat Allah yang begitu banyak, mulai dari lahir hingga hari ini. Kalaulah kita mau mencoba menyebutkan, mulai nikmat hidup, nikmat kesehatan, nikmat iman dan lain sebagainya. Rentetan nikmat ini tidak akan bisa kita ungkap dengan rentetan kata yang panjang. Namun sadarkah kita bahwa dengan banyaknya nikmat itu, kita pun masih meminta lagi, kita mendoa lagi, minta nikmat lagi. Inilah manusia dengan seabrek nikmat Allah, masih minta lagi dan minta lagi. Namun perintah Allah mengingatNya, berdzikir kepada Allah dilakukan dengan terburu-buru, mensyukuri nikmat Allah dilakukan saat sedang membutuhkan sesuatu nikmat lagi. Inilah manusia, bahkan di sebuah ayat Al Qur’an, Allah menundukkan apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi untuk manusia, kurang bagaimana Allah memanjakan manusia. Namun manusia dengan segala dalih dan motifnya selalu menyanggah dengan sikap ketidaksyukurannya, dengan sikap yang apatis terhadap perintah Allah azza wajalla.

Maka dari itu, seberapapun besar syukur kita kepada Allah, hanyalah sangat kecil di hadapan Allah, jika diukur dengan seabrek nikmat Allah. Jangan jumawah, jangan merasa paling menderita, jangan merasa paling hebat lalu melupakan syukur kepada Allah. Rasa syukur kita kepada Allah yang kita buktikan dengan berqurban dan berkorban untuk kepentingan sabilillah itu sudah sewajarnya, tidak ada yang istimewa. Sebagaimana kita mengucapkan terimakasih kepada orang yang telah memberi kita sesuatu barang, atau membantu kesulitan, kita mengucap “terimakasih”, itu saja. Bayangkan jika kita ditolong orang lain, dibantu orang lain, terus kita tanpa mengucapkan terimakasih atau bahkan tidak menghiraukan sama sekali, tentu kita akan diperlakukan tidak nyaman. Sedangkan Allah yang memberi kita hidup dan nikmat banyak lainnya, kita abaikan. Jadi rasa syukur itulah pembuktian kita, bahwa kita yakin seyakin- yakinnya bahwa nikmat Allah itu datang dari Allah, tanpa kehendakNya nikmat ini tidak akan hadir.

Hadirnya syariat berqurban kepada ummat Islam, marilah kita maknai sebagai pembuktian cinta kepada Allah, sebagaimana para nabi dan rosul yang telah membuktikan cintanya dengan berqurban. Rasulullah Solallahu Alaihi Wassalam menjelang wafatnya pun berqurban puluhan domba dan unta yang disembelihnya sendiri. Jangan hanya meminta, tapi lupa bersyukur, jangan hanya sibuk mengurusi nikmat Allah, tapi lupa mensyukuri nikmat Allah. Jangan terlena dengan titipan Allah berupa dunia, tapi lupa mempertanggungjawabkan titipan itu. Mari mengajak kepada diri kita, keluarga kita dan orang-orang yang kita sayangi untuk membuktikan cinta kita kepada Allah, dengan berkorban sebesar-besar taqwa dan sesempurna-sesempurnanya tawakal alallah.

Apapun duniawi, apapun kenikmatan ini jangan melupakan Allah dan dari jihad di jalanNya. Sebagiamana Allah mengingatkan kita dalam surat At Taubah ayat 24 sebagaimana berikut :

قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ ٱقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَآ أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِى سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّىٰ يَأْتِىَ ٱللَّهُ بِأَمْرِهِ وَٱللَّهُ لاَ يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْفَاسِقِينَ

Katakanlah: “jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik (QS. At taubah : 24)

Cinta Allah dan jihad adalah sebuah nilai yang tinggi. Bahkan jihad merupakan puncak ibadah, jangan ditinggalkan hanya karena hal sepele, “kecewa”. Perasaan kecewa apalah artinya dibandingkan dengan sederet kenikmatan yang disebut oleh ayat di atas, keluarga, kekayaan, tempat tinggal. Justru itupun tidak boleh dicintai melebihi Allah dan dari berjihad dijalanNya. Karena apapun di dunia ini tidak akan sebanding dengan cinta Allah dan jihad ini. Dari sinilah seorang mukmin akan terbukti kualitas cintanya kepada Allah, sebagaimana Ibrahim membuktikan rasa cintanya kepada Allah melebihi rasa cintanya kepada anaknya.

 

ustadz Rofiq Abidin

Oleh : Ustadz Rofiq Abidin
Suarahati.org