Oleh : Etty Sunanti

 

SUARA HATI – Banyaknya perlombaan atau kompetisi pada anak-anak, seringkali menimbulkan egoisme pada mereka, bahkan orang tua. Hingga, untuk orang tua yang menginginkan anaknya menjadi yang terbaik, selalu berharap anaknya menjadi sang juara di berbagai arena. Padahal kebaikan tidak harus menjadi pemenang juara perlombaan. Bisa jadi anak yang tidak pernah mendapat piala, tetapi sering berjasa dalam menolong teman-temannya di saat kesusahan.

Menumpuk piala, medali, berbagai penghargaan, tetapi mereka tidak mampu bekerjasama dengan pihak manapun, buat apa. Ada yang tumbuh menjadi pribadi individualistis, bahkan yang lebih ekstrim setiap lomba menggunakan cara yang salah, bahkan haram. Orang tua mendoktrin anaknya harus unggul, tidak boleh jatuh. Hingga cara yang salah, menyuap juri, atau nepotisme. Yang lebih sesat, adalah menggunakan sihir agar si anak bisa memenangkan lomba. Dan ini sangat banyak saya jumpai. Na’udzubillahi mindzalik.

Pada tataran kelak di masyarakat, hidup berbangsa dan bernegara. Hingga harus memberikan kemanfaatan bersama, mereka akan kesulitan. Karena bawaannya, selalu minta menang sendiri. Selalu ingin menonjol, ingin lebih tinggi, ingin lebih yang terbaik, di mata manusia. Padahal, kelak yang ingin menonjol sendiri, justru menjadi pribadi yang tidak disukai dalam kelompok (komunitas) Tetapi ketika seorang anak manusia yang ingin menarik di mata Allah, dengan sendirinya mereka akan menarik di mata manusia. Karena standar Ilahiyah, adalah standar universal dan pasti akan cocok secara nurani atau fitrah.

Allah berfirman dalam Al Quran surat Ali Imran ayat 103 yang artinya, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali agama Allah, dan janganlah bercerai berai. Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu. Lalu karena nikmat Allah menjadikan kamu orang-orang yang bersaudara”.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, serta kesepakatan para Ulama bahwa kewajiban bersatu pada kaum muslimin ini, adalah dalam Al Haq. Artinya, wajib bersatu dalam kebenaran bukan dalam kesesatan, atau sesuatu yang salah. Maka, sebagai orang tua wajib hukumnya mengajarkan kepada anak-anak, untuk bersatu kepada saudara sesama muslim serta mukmin. Menjalin persatuan untuk mencapai sebuah kebenaran. Kebenaran jika di break down, tentu saja akan banyak variabel pendukungnya. Kita bisa mulai bekerja sama dalam rumah tangga, atau di sekolah.

Maka dari itu, semenjak anak balita hingga remaja, orang tua sudah harus mempersiapkan mereka agar mampu menjalin kerjasama dengan baik. Bagaimana mungkin akan bisa mencapai tujuan bersama, jika kita tidak bisa bekerjasama.

Tataran paling sederhana adalah bekerjasama dalam keluarga.

Wajib hukumnya, dalam 1 rumah, setiap anggota keluarga saling bekerjasama mencapai tujuan. Sering kita temui, anak-anak tidak dilibatkan dalam tujuan penting keluarga. Anak-anak di biarkan asyik dengan dunianya sendiri. Hingga menjadi pribadi yang cuek, egois, tidak tahu apa-apa, tahunya malah asyik dengan kemaksiatan.

Apa yang harus kita lakukan sebagai orang tua dan pendidik dalam melatih kerjasama pada anak-anak?

  1. Mengenali potensi masing-masing tiap anak. Biarkan mereka menjadi dirinya sendiri. Kelebihan dari masing-masing menjadi penunjang terwujudnya tujuan bersama. Misal si A, kelebihannya mencatat, teliti, pandai berhitung. Maka jadikan dia bendahara keluarga. Yang punya kelebihan rajin bersih bersih dan menata rumah, jadikan dia petugas interior rumah. Dan lain sebagainya.
  2. Kelemahan bukan untuk dibuang, tetapi cari kelebihannya untuk mendukung kesuksesan. Misal, anak yang tidak seberapa cerdas, tapi punya kekuatan fisik. Maka gunakan kekuatan fisiknya untuk mencapai tujuan bersama. Kenyataan di masyarakat, anak yang lemah malah menjadi bahan bully-an. Dan sudah bukan saatnya lagi, merasa diri paling unggul. Justru kita membutuhkan setiap ornamen yang indah. Agar tercipta harmonisasi.
  3. Membiasakan anak-anak agar bisa beradaptasi dengan berbagai kondisi. Beradaptasi di sini tentu saja untuk kebenaran dan kebaikan. Bagi anak orang kaya, dia bisa beradaptasi di lingkungan anak orang miskin. Begitupun sebaliknya, anak orang miskin tidak berkecil hati di lingkungan anak orang kaya. Dan ketika dalam kondisi apapun dia bisa membawa diri dengan baik.
  4. Percaya diri menyampaikan pendapat dengan baik. Orang tua dan pendidik, wajib memberikan kepercayaan diri kepada anak-anak agar mereka bisa menyampaikan isi hati mereka di depan umum. Harus dihargai dan diapresiasi.
  5. Menolong orang lain, adalah menolong dirinya sendiri. Orang tua wajib mengajarkan anak-anaknya, untuk giat menolong orang lain. Karena ketika mereka rajin menolong orang lain, tentu saja empati akan datang padanya. Mereka akan mudah berinteraksi dengan siapapun.
  6. Menjadi anggota tim terbaik. Apapun posisinya, ajarkan anak anak untuk terampil. Pada posisi ketua mereka bisa dengan baik, posisi sekretaris mereka bisa, bendahara bagus, humas juga prima, keamanan sangat mantab, kebersihan keren, konsumsi juga lihai. Kemampuan mereka di segala bidang, akan menjadikan mereka anak-anak yang perduli dan peka terhadap orang lain. Memang ada posisi yang sesuai passion, tetapi seyogyanya pada posisi apapun, anak anak harus di berikan motivasi agar siap dan bersabar.

Saya masih teringat, teman baik saya Ibu Prof. Dr. Mas Roro Lilik Ekawati, MS. Dekan FISIP UHT Surabaya. Beliau berkata, “Sekarang ini sudah tidak jamannya lagi berkompetisi, tetapi kita ini harus mampu menjalin kerjasama dengan baik”. Karena sebagai pakar dunia Sosial Politik, juga memahami ilmu keorganisasian, beliau sangat jengah melihat kondisi maraknya konflik di manapun berada. Beliau melihat banyak orang yang kesulitan menjalin kerjasama dalam sebuah kelompok. Sehinga banyak konflik terjadi, tanpa ada solusi yang baik.

Nah, ayah ibu rahimakummullah.. Mari kita mulai mempersiapkan anak-anak kita menjadi generasi masa depan yang tangguh. Dengan mampu menjalin kerjasama positif serta kebenaran dimanapun berada.