Suarahati.org, Sidoarjo – Kesuksesan seseorang di bidang apapun tidak bisa dikatakan murni atas  usahanya sendiri, dengan mengabaikan sisi lain di balik kesuksesannya, yaitu dukungan keluarga (orang tua, istri/suami, dan anak-anak). Keluarga sukses adalah keluarga yang mampu menghadapi masalah-masalah kehidupan, baik ketika di puncak kejayaan maupun saat terpuruk dalam kegagalan, lengkap dengan konsekuensi sosial dan finansialnya. Keluarga sukses bukan hanya dilihat dari besarnya kekayaan finansial yang dimiliki atau strata sosial yang mampu dicapai, tetapi lebih pada kemampuan keluarga tersebut memerankan fungsinya sebagai pondasi sosial terkecil dalam melahirkan generasi penerus yang sukses pula.

Generasi sukses yaitu generasi yang berkemampuan untuk mandiri, baik secara finansial, spiritual maupun sosial, sekaligus mampu menghadapi masalah-masalah pada zamannya. Jadi, generasi (anak) yang sukses bukanlah hanya anak yang berprestasi atau pintar secara intelektual, kaya secara finansial, tetapi generasi yang jujur dan mandiri. Ciri orang yang mandiri yaitu tidak menjadi “parasit” dalam kehidupannya. Manusia “parasit” akan selalu menjadi beban bagi masyarakat, sepanjang hidupnya selalu bergantung dan menjadi beban orang lain, bahkan ia menjadi penyebab keresahan masyarakat.

Manusia yang mandiri memerlukan bekal akhlaqul karimah, kemampuan komunikasi yang baik, kemampuan logis dalam memecahkan masalah, dan kompetensi teknis yang memadai sesuai dengan zamannya. Bisa saja anak kita kuat secara fisik, matang secara emosional dan kaya secara finansial, tetapi kalau tidak kuat secara spiritual niscaya tidak akan mampu berhasil mengatasi krisis kehidupan yang dilaluinya.

Saat ini, ketika ilmu pengetahuan semakin maju dan berkembang, orang tua semakin sibuk dan tidak mempunyai waktu dan kompetensi ilmu yang memadai untuk mengajar anaknya sendiri, maka lahirlah berbagai lembaga pendidikan anak seperti sekolah, madrasah maupun pesantren. Meskipun demikian tanggung jawab pendidikan tidak serta merta begitu saja dialihkan kepada guru atau ustadz, meskipun orangtua sudah membayar mahal sekolah dan pesantren favorit pilihannya, tanggung jawab pendidikan tetap bertumpu pada kedua orangtua.

Setiap orangtua wajib mengasuh, mendidik, memenuhi hak-hak anak dan mempersiapkan masa depan anak-anak mereka. Dengan penunaian hak-hak tersebut, akan menjadi sebab hidayah (petunjuk) bagi sang anak, serta faktor keberhasilan dan kebahagiaan mereka. Tidak ada yang paling membahagiakan bagi orangtua selain melihat putra-putri mereka hidup dalam naungan hidayah Allah, berjalan di jalan yang lurus (benar), mentradisikan perilaku kebaikan di semua dimensi kehidupan yang ada, rajin beramal sholeh untuk kontribusi (investasi) kehidupan akhirat.

Banyak orangtua yang tidak menyadari bahwa hati dan pikiran anak-anak kecil adalah suci dan bersih, apa yang mereka lihat dari perilaku, ucapan dan tindakan orangtua mereka, akan membekas di benak mereka, dan secara naluri akan mengikuti apa yang mereka lihat dan dengar. Inilah fase pendidikan yang banyak dilalaikan orangtua. Jika orangtua suka berbohong, maka anak-anaknya akan tumbuh dan berkembang menjadi manusia-manusia pembohong. Demikian pula jika orangtua jujur, maka anak-anaknya akan tumbuh menjadi pribadi yang jujur dan punya integritas.

Pendidikan dalam Islam bukan hanya sekedar transfer ilmu ke benak anak didik, tetapi memberi uswah hasanah dan nasehat yang konstruktif kepada anak didik, sehingga ada sinergi antara ucapan dan tindakan, serta teori dan kenyataan. Keselarasan ucapan dan tindakan tersebut harus bersendikan akhlaqul karimah (moral luhur) dan pekerti mulia. (Suarahati.org)

oleh : Arief Budi Pietoyo SE, MM