Oleh : Etty Sunanti

Seringkali
saya mendapatkan curhatan para ibu muda, yang mengeluh karena ketidakmampuannya
dalam menghadapi kehidupan berumah tangga. Bahkan ada yang mengalami baby blues syndrome. Saat mengandung dan
melahirkan anaknya, serasa frustasi. Emosional meningkat, bahkan ada yang
depresi. Teriak histeris, menangis meronta, memukul-mukul suaminya.

Padahal
mereka memiliki latar belakang akademik yang bagus. Cerdas dan pintar.
Pendidikan yang kategori tinggi hingga magister, kesarjanaannya cumlaude. Bahkan mereka aktivis
organisasi, yang biasa mengoordinir even dan massa. Bahkan rata-rata mereka
dari keluarga yang religius dan aktivis. Mereka memiliki kepribadian yang
menarik.

Tetapi, saat
berumah tangga, mereka kesulitan menghadapi karakter pasangan. Kesulitan
menghadapi mertua dan keluarga suaminya. Tidak bisa masak, tidak sanggup
mengerjakan pekerjaan rumah, kesulitan merawat anak, dan masih banyak lagi.
Seolah hidupnya terobsesi pada nilai akademik sekolah, perkuliahan, mencari
pekerjaan, membaca buku, dan segenap teori-teori yang sebenarnya agak kurang
bermanfaat bagi kehidupan mereka di masa depan.

Tidak ada
Universitas berumah tangga. Yang ada Universitas Ilmu Pengetahuan. Bahkan
seringkali tidak linier dengan realitas kehidupan mereka.

Sedangkan
berumah tangga sebuah keniscayaan bagi setiap insan, yang hidup di dunia.
Bahkan dalam Islam, pernikahan adalah kesempurnaan dalam beragama. Tetapi
anehnya, mengapa tidak ada sekolahnya?

Pun demikian,
persamaan gender membuat keadaan umat semakin jauh dari nilai-nilai syariat
Agama Allah. Mengapa bisa demikian? Karena masyarakat sudah bergeser kepada
nilai-nilai materi. Bukan lagi kepada nilai akhirat serta kemuliaan bagi
seorang hamba Allah.

Rata-rata
anak dididik agar sekolah tinggi dengan orientasi akan mendapatkan pekerjaan
yang layak. Bukan mendapatkan ilmu yang bermanfaat untuk kebaikan dunia dan
akhirat. Kalaupun berfikir akhirat, masih bersifat sekularistik. Atau sesuatu
yang bersifat kebiasaan atau habitat. Misal kulturnya sholat, tetapi esensi
sholat juga belum paham.

Demikian juga
sebaliknya, para anak lelaki juga bergeser peran dalam berumah tangga. Yang
semestinya berperan sebagai pemimpin. Tetapi kenyataannya power wanita justru melebihi para lelaki. Baik dalam finansial,
pendidikan, serta kemampuan mengambil keputusan.

Mengapa bisa
terjadi hal yang demikian?

1. SALAH
MOTIVASI, anak-anak kaum muslimin di masyarakat, banyak sekali yang sejak kecil
sudah diharapkan memiliki cita-cita secara profesi. “Kamu kalau besar
ingin menjadi apa sayang?”

Jawabannya,
ingin menjadi polisi, dokter, insinyur, pilot, guru, dan lain sebagainya.
Sehingga waktu kehidupan mereka bertahun-tahun habis untuk mencapai target
cita-citanya. Di sekolah sudah belajar, di rumah disuruh belajar, bila perlu
les ini dan itu. Belum lagi lomba ini dan itu, untuk mencapai cita-citanya.
Waktu mereka habis untuk bersekolah dan belajar. Dan sedihnya, kemampuan anak
didik di negeri ini masih sebatas teori bukan praktik. Masalah pekerjaan rumah
anak-anak di masyarakat kurang terampil. Bahkan semakin banyak yang dilimpahkan
ke pembantu. Bahkan ada yang semua dihandel orang tua. Anak bagaikan raja dan
ratu di rumah.

2. LEMAHNYA PEMANFAATAN
WAKTU. Tidak bisa dibayangkan, betapa sekolah hampir sepekan. Membuat orang tua
merasa kasihan melihat anak-anak mereka. Sehingga saat pulang sekolah, mereka
diberikan kesempatan beristirahat dengan menonton TV dan bermain gadget. Atau
masih dipaksa lagi untuk belajar dan les. Seolah urusan sekolah adalah maha
penting. Menganggap remeh pekerjaan rumah tangga. Sehingga anak tidak memilik
kesempatan apalagi kemampuan mengurusi rumah dengan baik.

3. RENDAHNYA
KEPEDULIAN. Penekanan yang dianggap penting dalam sebuah keluarga. Maka disitulah
fokus tercurah. Sehingga yang lain terabaikan. Belum lagi, keluarga tidak
mengajarkan kepekaan, kebersamaan dan pengorbanan. Misal, selesai makan, tidak
mau mencuci piring. Apalagi bekas piring orang lain, malah anti pati. Jika
melihat kotoran di rumah, mereka tidak perduli. Sementara orang tua, tidak mau
menegur. Para prang tua lebih gelisah anaknya mendapat nilai jelek di sekolah,
daripada menerapkan nilai nilai kebaikan di rumah.

Lalu,
bagaimana sebaiknya kita mendidik tentang masalah rumah tangga?

1.
MENGUTAMAKAN PENDIDIKAN AGAMA. Dasar utama mendidik anak adalah mengajarkan
ULUMUDDIN. Ilmu agama berkenaan masalah Aqidah, Akhlaq, Ibadah, hingga detail masalah
Fiqih anak anak harus diajarkan semenjak dini. Tentu saja disesuaikan dengan
usia dan kebutuhan mereka. Maka, kita akan mendapatkan percepatan pemahaman
pada diri anak-anak, tentang segala prioritas yang baik. Dengan mengajarkan
agama serta penerapannya, maka kita akan menemukan nilai nilai kebaikan dalam
kehidupan. Di sana akan kita temukan, bagaiman ciri dan fungsi muslim
(laki-laki) dan muslimah (wanita). Termasuk anak akan mengerti tugasnya kelak
sebagai hamba Allah, seorang suami, isteri, ayah , ibu dalam Islam.

2.
MEMBIASAKAN ANAK MENGURUSI PEKERJAAN RUMAH. Kenalkan dan biasakan anak-anak
untuk terlibat dalam pekerjaan rumah tangga. Mulai membersihkan dan merapikan
tempat tidur (kamar). Mencuci piring dan pakaian. Menyetrika baju mereka.
Membersihkan rumah dengan menyapu dan mengepel. Membantu ibu di dapur. Membantu
ayah membetulkan rumah yang rusak. Hingga kemampuan belanja ke pasar. Dan masih
banyak lagi tugas rumah dan keluarga.

3. DILARANG
EGOIS. Orang tua wajib mendidik anak-anak peduli dengan keadaan sekitar.
Anak-anak wajib memiliki kepekaan membantu orang lain tanpa pamrih. Tanpa
perhitungan ataupun iri dengan yang lain. Ini adalah poin penting, agar anak
suka menolong sesama. Jika dalam rumah mereka baik, In Shaa Allah ketika keluar
rumah, mereka juga akan baik.

4.
MENGAJARKAN DISIPLIN DAN TANGGUNG JAWAB. Kebiasaan anak-anak adalah semaunya
sendiri. Dan tugas orang tua adalah mendidik, mengarahkan, dan menuntun ke
jalan yang benar. Termasuk membiasakan anak agar disiplin, ini membutuhkan
perhatian khusus. Misal meletakkan barang di tempat yang benar. Hal ini butuh
perhatian khusus, harus perlu berulang kali diingatkan. Dan bila perlu ada
strategi khusus agar anak disiplin. Hanya saja, jangan melakukan dengan
kekerasan. Tetapi lakukan dengan teladan, serta nasihat yang baik.

5. KEHANGATAN
KELUARGA DAN PROBLEM SOLVING. Setiap keluarga harus memiliki Family Time untuk
mendiskusikan setiap persoalan. Bisa diadakan musyawarah keluarga setiap ba’da
sholat Maghrib, atau setiap akhir pekan, bisa juga setiap waktu yang
disepakati. Kehangatan keluarga sangat penting. Seperti makan bersama, bercanda
bersama, atau wisata keluarga. Saat safar, dalam kendaraan, orang tua bisa
memberikan wejangan kepada anak-anak. Hal ini sangat efektif memberikan
motivasi dan solusi bagi persoalan keluarga.

Nah, ayah ibu
rahimakumullah. Semoga keluarga kita, senantiasa mendapatkan rahmat dan berkah dari
Allah. Serta senantiasa dalam jalan yang lurus. Memiliki generasi masa depan
yang shalih-shalihah. Siap menghadapi masa depan dengan baik.