Suarahati.org, Sidoarjo – Ketika Madinah sedang sibuk menyiapkan suatu angkatan perang untuk menghadapi Perang Badar. Rasulullah melakukan pemeriksaan terakhir terhadap tentara muslimin yang pertama-tama dibentuk dan segera akan diberangkatkan ke medan jihad di bawah komando beliau untuk mentegakkan kalimatillah di muka bumi. Saat Rasulullah SAW sedang sibuk-sibuknya, tiba-tiba seorang anak laki-laki datang menghadap beliau. Anak itu kelihatan cerdas, terampil, hemat, cermat dan teliti. Di tangannya tergenggam sebilah pedang, yang panjangnya melebihi tinggi badan anak itu. Dia berjalan tanpa ragu-ragu dan tanpa takut melewati barisan demi barisan menuju Rasulullah SAW. Setelah dekat dengan beliau ia berkata, “Saya bersedia mati untuk Anda, wahai Rasulullah! Ijinkan saya pergi jihad bersama Anda, memerangi musuh-musuh Allah di bawah panji-panji Anda.” Rasulullah menengok kepada anak itu dengan pandangan gembira dan takjub. Beliau menepuk-nepuk pundak anak itu tanda kasih dan simpati. Tetapi beliau menolak permintaan anak itu karena usianya yang masih sangat muda.  

Anak itu pulang kembali membawa pedangnya tergesek-gesek menyentuh tanah. Dia sedih dan kecewa karena permintaannya untuk menyertai Rasulullah dalam peperangan pertama yang akan dihadapi beliau, ternyata ditolak. Namun Ibu anak itu, Nuwar Binti Malik, yang sejak tadi mengikutinya dari belakang tidak kurang pula sedihnya. Dia ingin melihat anaknya berjuang di jalan Allah bersama Rasulullah, sehingga bisa berdekatan dengan utusan Allah itu.

Tetapi anak Anshar yang cerdas itu tidak putus asa agar dirinya bisa berdekatan dengan Rasulullah. Walau tidak bisa berdekatan sebagai prajurit karena usianya yang masih sangat muda, ia memiliki ide brilian untuk bisa bersanding, lalu idenya itu disampaikan kepada ibunya, dan segera merintis jalan untuk mewujudkannya. Kemudian Nuwair binti Malik bersama sanak saudaranya berusaha menemui Rasulullah, dan berkata : “Wahai Rasulullah! Ini anak kami, ZAID BIN TSABIT. Dia hafal tujuh belas surah dari Al Qur’an, bacaannya sesuai betul dengan apa yang diturunkan oleh Allah kepada Anda. Disamping itu dia pandai tulis dan baca Tulisan Arab. Tulisannya indah dan bacaannya lancar. Dia ingin berbakti kepada Anda dengan keterampilan yang ada padanya, dan ingin pula mendampingi Anda selalu, jika Anda menghendaki, silahkan mendengarkan bacaaannya”. Kemudian Rasulullah mendengarkan Zaid bin Tsabit membaca sebagian ayat-ayat Al Qur’an yang telah dihafalnya. Kalimat demi kalimat dan huruf demi huruf yang dibacanya sangat tepat dan lantunannya indah didengarkan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah gembira karena apa yang dilihat dan yang didengarnya mengenai Zaid bin Tsabit, melebihi apa yang dikatakan orang yang mengantarnya. Rasulullah menoleh kepada Zaid bin Tsabit, “Hai Zaid! Pelajarilah tulis baca Bahasa Yahudi (Ibrani). Saya sangat tidak percaya kepada mereka bila saya diktekan sebagai sekretaris saya.”

Jawab Zaid, “Saya siap, ya Rasulullah!”. Selanjutnya Zaid belajar tulis baca Bahasa Ibrani  dengan tekun. Berkat otaknya yang cemerlang, maka dalam tempo yang singkat dia telah dapat menguasai bahasa tersebut dengan baik, berbicara, membaca dan menulis. Apabila Rasulullah hendak menulis surat kepada orang-orang Yahudi, Zaid bin Tsabit dipanggil beliau menjadi sekretaris. Pun juga bila beliau menerima surat dari Yahudi, Zaid pula yang disuruh membacakan surat itu kepada beliau. Kemudian Zaid disuruh pula belajar tulis baca Bahasa Suryani (termasuk bahasa yang banyak tersebar dikelompok bangsa Sam/Smitis). Zaid menguasai bahasa itu dalam tempo singkat, berbicara, membaca dan menulis, seperti penguasaannya terhadap Bahasa Yahudi. Dan sejak saat itu Zaid yang masih muda dijadikan sebagai penerjemah bagi beliau untuk kedua bahasa tersebut.

Setelah Rasulullah SAW sungguh-sungguh yakin dengan keterampilan Zaid, kesetiaan, ketelitian dan pemahamannya, barulah beliau menugaskannya menulis Al Qur’an. Maka jadilah ia penulis wahyu. Bila ayat-ayat/ wahyu turun, Rasulullah memanggil Zaid, lalu dibacakannya kepada Zaid dan disuruh untuk menuliskannya. Karena itu Zaid bin Tsabit menulis Al Qur’an didiktekan langsung oleh Rasulullah secara bertahap sesuai dengan turunnya ayat. Tidak salah lagi jika pribadi Zaid cemerlang, oleh karena sinar petunjuk Al Qur’an, dan pikirannya gemerlapan dengan rahasia-rahasia Syari’at Islam. Kemudian dia diangkat menjadi ketua tim yang bertugas menghimpun Al Qur’an pada masa Kekhilafahan Abu Bakar As Siddiq. Dia pula yang menjadi ketua tim penyusun mushaf di zaman Pemerintahan Utsman bin ‘Affan (seperti yang kita baca sekarang).

Keunggulan dan kedalaman pengertian Zaid bin Tsabit mengenai Al Qur’an telah mengangkatnya menjadi penasehat kaum muslimin. Para khalifah senantiasa bermusyawarah dengan Zaid dalam perkara-perkara sulit, dan masyarakat umum senantiasa meminta fatwa beliau tentang hal-hal musykil, terutama tentang hukum warisan, karena belum ada diantara kaum muslimin ketika itu yang lebih mahir membagi warisan selain Zaid.

Umar bin Khatab pernah berpidato pada Hari Jabiyah (desa sebelah barat Damaskus), katanya : “Hai manusia! Siapa yang ingin bertanya tentang Al Qur’an, datanglah kepada Zaid bin Tsabit. Siapa yang hendak bertanya tentang Fiqih, tanyalah kepada Mu’adz bin Jabal. Dan siapa yang hendak bertanya tentang harta kekayaan, datanglah kepada saya. Sesungguhya Allah Azza wa Jalla telah menjadikan saya penguasa, Allah jualah yang memberinya.”. Khutbah Umar bin Khatab ini dinamakan dengan Khutbah Yaumul Jabiyah. Dengan demikian para pencari ilmu (mahasiswa) yang terdiri dari para sabahat dan tabi’in, sangat menghormati dan memuliakannya, karena ilmu Al Qur’an yang dimiliki Zaid bin Tsabit.

Tatkala Zaid bin Tsabit berpulang ke Rahmatullah, Kaum Muslimin menangis karena pelita ilmu yang menyala telah padam. Berkata Abu Hurairah, “Telah meninggal samudera ilmu ummat ini. Semoga Allah mengganti dengan Ibnu Abbas.” Penyair Rasulullah, Hasan bin Tsabit, menangisi Zaid bin Tsabit dan dirinya sendiri dengan seuntai sajak indah :

“Siapakah lagi merangkai sajak sesudah Hasan dan anaknya,

manakah lagi menara ilmu sesudah Zaid bin Tsabit…?”


(Disarikan dari buku “Kepahlawanan Generasi Sahabat Rasulullah”. Karangan DR Abdurrahman Ra’fat Baysa. )
Suarahati.org