Oleh : Etty Sunanti
(The Owner Of ESP)

Masih banyak di masyarakat kita, orang tua memotivasi anaknya dengan cara yang salah. Bahkan, tanpa disadari motivasi tersebut justru menyakitkan hati dan menimbulkan persoalan baru.

Seperti apakah itu? Yaitu memotivasi anak dengan membandingkannya dengan anak yang lain, dengan saudara yang lain, dengan anak tetangga, bahkan dengan teman sekolahnya.

“Aduh, mengapa sih kamu tidak bisa seperti kakak ? Lihat, kakak rajin belajar, rajin ke masjid, sedangkan kamu ?”

“Apakah kamu tidak bisa seperti si Fery anaknya Bu Slamet itu. Dia selalu menjadi juara kalau lomba! Kalau kamu selalu kalah, bahkan nggak suka ikut lomba.”

Masih banyak lagi, berjuta kalimat muncul dari lisan para orang tua, yang karena jengkel akhirnya terlontar kalimat yang esensinya menjatuhkan, menghina, melemahkan dengan memberikan perbadingan kepada yang lain.

Saya mempunyai pengalaman tersendiri dalam hal ini. Suatu ketika ada seorang gadis dari perguruan tinggi di Surabaya datang bersama empat temannya untuk berkonsultasi.

Si gadis, sebut saja A. Sering melihat hantu dan selalu ketakutan dalam hidupnya.

Setelah saya bedah, ternyata dia depresi karena sering konflik dengan ibunya. Ibunya sering membandingkan dan menuntut si A agar bisa bernasib seperti anak tetangganya yang kaya.

Sementara dia hanyak anak buruh petani biasa di sebuah kabupaten di Jawa Timur. Ketika harus kembali ke kampus dan kos di Surabaya, dia hanya dibekali beras dan uang IDR 200.000 dari kakaknya. Sementara, dia tidak mempunyai life skill yang cukup untuk hidup di kota. Jadi bagaimanapun kondisinya, dia harus mencukupkan beras dan uang tersebut. Wallahi, apakah si A tidak depresi dengan kondisi seperti ini?

Akhirnya, saya memberikan saran. Saya berikan instruksi kepada teman-temannya, untuk memberikan jatah makan 4 sehat 5 sempurna untuk si A. Bisa dicarikan donatur, atau setiap teman bergiliran, terserah. Saya meminta, si A mengaktifkan dirinya mengajar TPQ juga di masjid-masjid dekat kampus. Ciptakan kegiatan untuk menambah income.

Bisa jualan jilbab, buku-buku, atau dikaryakan. Yang pasti, bisa survive di Surabaya. Saya ajarkan juga agar tidak konflik dengan ibunya lagi.

Subhaanallah, setelah saran saya dilakukan, Alhamdulillah si A tidak bisa melihat hantu lagi. Artinya, betapa hebatnya perkataan manusia yang mampu membuat seseorang tertekan dan menimbulkan persoalan baru dalam kehidupan.

Secara fitrah, manusia mempunyai karakteristik tersendiri. Tiap mereka memiliki keunikan, kelebihan dan kekurangan. Tidak sepantasnya, kita membuat perbandingan dengan yang lain.

Secara gen berbeda, finansial berbeda, lingkungan juga berbeda. Bagaimana mungkin kita bisa membandingkan tiap anak dengan anak yang lain?

Adalah sama, jika anak-anak diperlakukan seperti itu. Sekali lagi, jangan pernah membandingkan anak-anak dengan anak yang lain. Lebih baik kita memotivasinya dengan kalimat-kalimat yang membangun.

Bagaimana jika kita bersikap seperti ini? Misalkan, “Dik kamu hebat, kamu mempunyai kelebihan dalam olahraga. Berlatihlah apa yang adik sukai, ibu mendukungmu..”

Ayah ibu rakhimakummullah, marilah kita membiasakan membangun anak-anak kita menjadi dirinya sendiri. Tanpa ada perbandingan dengan yang lain. Sebenarnya, apa bahayanya jika kita membandingkan anak satu dengan anak yang lain? Berikut dampaknya :

  1. BERKECIL HATI.

Saat anak dibandingkan dengan yang lain, seketika itu juga mereka akan berkecil hati, dia merasa tidak sehebat temannya. Akhirnya dia tidak bisa melihat kelebihan pada dirinya sendiri.

  1. TIDAK PERCAYA DIRI.

Saat anak tidak percaya diri, maka dia semakin tidak bisa berkembang. Dia selalu terobesesi ingin menjadi diri orang lain. Semuanya dia lakukan karena terpaksa demi menyenangkan orang tua. Bukan karena kemauan dirinya sendiri.

  1. PENUH KEBENCIAN.

Anak yang sering dibandingkan dengan yang lain, dia memiliki perasaan benci kepada orang tua. Dia merasa tidak mendapatkan penghargaan yang cukup, sehingga dia memiliki kebencian, yang membuat mereka tertekan dan amarah.

  1. ENERGI POSITF AKAN SIRNA.

Jika anak merasa dirinya tidak berarti maka energi positifnya akan hilang. Karena dia akan kehilangan kebahagiaan, maka waktu akan dia gunakan secara minimal. Hormon cinta dalam dirinya akan melemah. Anak akan melemah, sering merasa bersalah dan terpuruk.

  1. KREATIFITAS AKAN MATI.

Dia akan menjadi plagiator ulung. Karena selalu dibiasakan melihat orang lain. Tidak mampu melihat dirinya sendiri.

 

Lalu bagaimana cara orang tua yang baik untuk memotivasi anak-anak?

  1. BERSYUKUR

Sebagai pendidik dan orang tua harus mampu mengajarkan syukur kepada anak-anak. Karena barangsiapa bersyukur maka nikmat Allah akan bertambah.

  1. MENJAGA LISAN

Kita wajib berhati-hati memilih kalimat untuk berkomunikasi pada ana. Kalimat yang kita ucapkan adalah doa bagi mereka. Menjaga lisan, kita juga menjaga hati mereka.

  1. MENJADIKAN ANAK-ANAK PERCAYA DIRI

Dengan cara mengeksplorasi kelebihan anak dan menutup kekurangan mereka. Ayah ibu, mari kita mulai menyayangi anak-anak dengan menjaga perasaan mereka.

 

#at-tarbiyah
#parenting