• Keluarga dengan satu anak (anak tunggal)
    Ciri-ciri:
    Pasangan istri dan suami yang memiliki satu orang anak (anak tunggal) dengan berbagai alasan, seperti masalah biologis (belum diberi keturunan lagi).Tantangannya:
    1. Anak terlalu banyak mendapat perhatian dan kasih sayang. Padahal perhatian dan kasih sayang yang berlebihan dapat ‘menjerumuskan’ anak dan menghambat aktualisasi diri dan pengembangan potensinya.
    2. Anda cenderung membatasi pergaulan anak karena khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti penculikan, anak terluka, menjadi korban bully. Padahal secara psikologis, anak butuh stimulus dari lingkungan di luar keluarga inti dalam hal bersosialisasi.
    3. Perkembangan sosial emosional anak menjadi terbatas karena sejak kecil tidak punya saudara kandung, Sehingga ia tidak pernah mengalami interaksi atau konflik.
    4. Perhatian yang terpusat dari orang tua memberi beban psikis bagi anak tunggal. Sepanjang waktu ia merasa harus selalu menunjukkan bahwa dirinya memang yang terbaik (overachiever).

    Solusi:
    1. Sepakat mengenai cara mengasuh anak tunggal. Selain anak bisa berkembang optimal dan terbebas dari stigma sosial yang ada, Anda dan pasangan pun tak akan berselisih karena perbedaan pola asuh.2. Dorong anak untuk lebih peduli pada orang lain. Misalnya ketika ia berulang tahun, Anda bisa mengajaknya berbagi dengan anak-anak di panti asuhan.
    3. Hindari bersikap terlalu protektif, karena dengan bersikap protektif Anda akan membuatnya tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri dan kurang percaya diri.
    4. Ajarkan tentang tanggung jawab. Misalnya, ajak ia untuk selalu membereskan mainan seusai bermain, meletakkan sepatu di rak.

 

  • Keluarga dengan banyak anak
    Ciri-ciri:
    Pasangan istri dan suami yang memiliki anak lebih dari dua.

    Tantangannya:
    1. Membutuhkan jumlah uang yang besar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya pendidikan anak yang berkualitas.
    2. Sulit membagi perhatian dan ada kemungkinan timbul kecemburuan antara satu anak dengan anak yang lain. 
    3. Tak memiliki banyak waktu untuk pasangan dan diri sendiri akibat terlalu lelah mengurus banyak anak. 
    4. Waktu bersosialisasi pun terkikis.
    5. Kerapihan rumah tak bisa bertahan lama.Solusi:
    1. Letakkan semua keperluan anak (kecuali benda-benda berbahaya atau obat-obatan yang mengandung bahan kimia) di tempat yang mudah dijangkau. Mulai dari perlengkapan mandi, kotak-kotak mainan, pakaian, sepatu, dan lain-lain, hingga mereka tak harus selalu meminta bantuan Anda.
    2. Beri anak tanggung jawab pada barang masing-masing. Misalnya saat hendak bepergian, setiap anak bertanggung jawab untuk menyiapkan ransel dan memilih perlengkapan yang mau dibawa.
    3. Buat kegiatan menjadi menyenangkan. Misalnya jadikan kegiatan membereskan rumah sebagai kegiatan yang seru.
    4. Berbagi tugas dengan pasangan agar masing-masing tak merasa terbebani dan memiliki porsi yang relatif sama.
    5. Selalu punya waktu untuk berdua. Pilih waktu khusus untuk Anda berdua tanpa ada kehadiran anak-anak. Soal waktunya, Anda dan pasangan dapat menyesuaikannya.
    6. Sisihkan waktu khusus untuk masing-masing anak. Misalnya dengan cara sekali dalam seminggu mengajak anak (secara bergantian) berbelanja keperluan sehari-hari.

 

  • Keluarga baru dari perkawinan kedua (blended family)
    Ciri cirinya:
    Keluarga yang terdiri dari laki-laki dan atau perempuan yang telah menikah sebelumnya dan membentuk keluarga baru dan membesarkan anak dari hasil pernikahan sebelumnya.Tantangannya:
    1. Pernikahan kedua bisa jauh lebih rumit dan kompleks karena Anda berdua telah membawa trauma masa lalu. 
    2. Jika masing-masing membawa anak dari pernikahan sebelumnya ada kemungkinan terjadi masa penerimaan dan penyesuaian yang lebih lambat, adanya perbedaan pola asuh, serta pembagian hak asuh dengan mantan pasangan.
    3. Ekspektasi yang berlebihan. Pada umumnya pasangan yang baru menikah berharap bahwa perkawinannya kali ini akan lebih baik.
    4. Walaupun sudah berpengalaman, pembagian keuangan adalah hal sensitif untuk sebuah keluarga. Sebaiknya ini dibicarakan sejak awal.
    5. Gangguan masa lalu. Mantan suami atau mantan istri tentu tak bisa dilepaskan dari kehidupan baru yang Anda jalani kini. Terlebih jika bicara masalah anak. Bukan tak mungkin Anda akan terusik dengan komunikasi yang terjalin antara pasangan dengan sang mantan.

    Solusinya:

    1. Bicarakan soal anak dari awal, misalnya mengenai jadwal pertemuan dengan si ayah atau si ibu kandung, pemberian nafkah bagi anak, urusan pendidikan, hingga soal pola asuh nantinya.
    2. Beri batasan yang jelas dan tegas kepada mantan pasangan, agar ia tidak terlalu mencampuri perkawinan kedua Anda. Pun jangan sembunyikan apa pun soal mantan dari pasangan saat ini.
    3. Tak memaksakan diri untuk dekat dan disayangi oleh anak kandung pasangan Anda. Biarkan semuanya berjalan secara natural, cukup tunjukkan perhatian dan kasih sayang kepadanya dan biarkan waktu yang menentukan semuanya.
    4. Jujur dan terbuka pada pasangan mengenai segala hal. Ungkapkan padanya cara Anda menghadapi masalah. Dengan begitu, dia bisa mengenal Anda lebih dalam atau malah Anda berdua menemukan aturan baru menangani konflik di masa depan.

Demikian, semoga bermanfaat.

 

www.ayahbunda.co.id